Minggu, 15 Juli 2012

Van Gogh dan Rumah Sakit Jiwa


KEINDAHAN LADANG DAN TAMAN DARI RUMAH SAKIT JIWA

Van Gogh ternyata juga pelukis panorama yang mengagumkan. Rumah sakit jiwa baginya adalah studio yang menyalakan kreativitas artistiknya.

Dalam surat kepada adiknya, Theo, pada 18 Maret 1882, pelukis besar Vincent Van Gogh menulis: “Aku bukanlah seorang pelukis panorama. Tatkala aku melukis panorama, selalu ada figure manusia di dalamnya……” Tapi, tujuh tahun setelah surat itu ditulis, di tahun-tahun terakhir hidupnya , dengan tinggal di rumah sakit jiwa, pelukis kelahiran Groot-Zundert, Negeri Belanda, 30 Maret 1853, ini justru tekun dan disiplin melukis taman dan ladang- dengan atau tanpa figure manusia yang menyertainya. Bertahun-tahun kemudian, “taman dan ladang” Vincent tetap memukau dunia seni rupa dan di pasar lelang Internasional dihargai tinggi, mengalahkan Monet dan Renoir. Sketsa sederhananya yang bertajuk “Garden of Flower” laku US$ 8,4 juta; sedangkan lukisan yang dikerjakannya pada 1889, “Iries”, laku US$ 54 juta.

Van  Gogh boleh saja menjadi pelukis potret, atau menjadi illustrator, agar segera mendapatkan uang. Tapi, ternyata ia tak pernah bisa berpaling dari alam sekelilingnya. Dengar saja komentarnya ketika menapaki jalan-jalan kota Isleworth, tatkala ia bertugas menjadi asisten pendeta. “Ketika matahari turun perlahan di belakang pohon-pohon elm, yang daun-daunnya kini berubah keperakan, rumput tertutup halimun, sungai kecil berkelok di tengah taman, dan kita bisa memandangi angsa-angsa berenang disitu. Pohon-pohon akasia di taman tak lagi berdaun; semua itu jelas terlihat dari jendela di depan mejaku- kadang terlihat gelap berlatar langit, kadang matahari muncul kemerahan dalam kabut di belakangnya,” demikian tulis pelukis yang bersahabat dekat dengan sastrawan Emile Zola itu. Sementara itu, dimasa yang lain, Van Gogh menulis sebagai berikut: “Pemandangan kiri-kanan jalan begitu indah, tanah kecokelatan dengan pohon birch dan pinus di sana-sini serta sepetak pasir kuning, ssementara di kejauhan tegak gunung dibelai matahari. Sungguh, itu bukan lukisan, tapi sebuah inspirasi.”

Sayangnya, Van Gogh terlalu miskin untuk bisa memiliki tamannya sendiri. Tak seperti Claude Monet, misalnya, yang di tahun 1899 mengubah sungai Epte yang melintasi kediamannya di Giverny, dekat Paris, guna menciptakan sebuah taman air yang indah, dengan hiasan jembatan gaya Jepang. Disinilah Monet menghabiskan tiga puluh hari-hari terakhir hidupnya dengan melukis waterlilies dalam permainan cahaya di air, sehingga terciptalah serial lukisan monumental yang hingga kini tak habis dikagumi orang. Van Gogh juga tak seperti Auguste Renoir, yang bisa membanggakan taman mawarnya di Les Colletes, tak jauh dari Nice. Satu kali Van Gogh sengaja datang ke Nice, mengunjungi taman mawar Renoir, ketika cuaca Paris tidak memungkinkan bunga-bunga bermekaran.

Seperti juga pelukis impresionis yang hidup sezaman dengannya, Van Gogh mengagumi ukiyo-e Jepang, terutama karya Utagawa Hiroshige (1797-1858) dan Kesai Eisen (1790-1848). Ia terhenyak melihat ukiyo-e yang dibelinya di Antwerp, Belgia. Bunga, daun, dan pohon bisa dilukis begitu indah, dan berubah-ubah tergantung cahaya yang menyiraminya. “Aku cemburu pada kejernihan luar biasa yang ada pada karya artis Jepang itu,” tulisnya pada Theo. “Karyanya ringan, seprti menarik nafas,” tulisnya lebih lanjut. Maka, dengan semangat yang selalu menggebu, pelukis yang sebelumnya berkutat dengan warna-warna gelap ini berburu mengejar suasana Jepang, mengejar cahaya terang. Keinginannya menemukan “Jepang” itu membawanya ke Arles, kota di selatan Paris yang lebih sering dikunjungi matahari. Disitu Van Gogh seperti kuda liar yang dilepas di padang rumput. Tatkala Van Gogh datang, udara beku dan salju setebal 60cm, tapi itu tak membuat semangatnya surut. Ia terus mencorat-coret kanvas dalam guyuran salju, hingga akhirnya terserang flu dan terpaksa tinggal di rumah. Diluar boleh saja suram, tapi dalam diri Van Gogh tumbuh satu harapan: musim ssemi pasti datang sebentar lagi.

Musim semi tiba, Van Gogh bekerja seperti kesetanan. Di tengah-tengah angin yang menderu-deru, jagrak melukisnya ia ikatkan pada pasak-pasak yang tertancap kuat di tanah. Ia tak ingin kehilangan satu detik pun keindahan musim semi. Tiga hari bekerja di luar rumah, sehari beristirahat. Tak sampai sebulan (24 Maret- 21 April 1888), ia menghasilkan empat belas lukisan. Theo pun dipaksa mengikuti gairahnya. “Demi Tuhan. Kirim catnya sekaligus. Musim seperti ini hanya ada sesaat,” tulisnya dalam surat.

Benar saja. Waktu membuka mata, satu pagi di bulan Juni, pemandangan musim semi sudah tak ada lagi, namun berganti dengan kegairahan musim panas. Ditemani matahari, Van Gogh sering dijumpai asyik melukis di ladang-ladang gandum, terutama yang sudah siap panen. Batang gandum yang bergerak kiri-kanan seperti mengajaknya bermain-main dengan tehnik sapuan dan warna. Ia rela berdiri dengan matahari tepat di atas kepala demi mendapatkan lukisan tanpa bayangan. Sepuluh lukisan dan lima drawing diselesaikan pelukis trampil itu hanya dalam waktu seminggu, sampai badai hebat, pada 20 Juni 1888, memporak-porandakkan “pesta panen”-nya.

Ketika udara mulai kembali dingin, tak sengaja Van Gogh “menemukan” sebuah taman umumyang memikat tepat di depan tempat tinggalnya. Sebuah taman bagaikan tapestri yang terlihat hijau dari pohon, perdu, dan rumput. Bunga tak seberapa muncul disana-sini. Suasananya teduh dan tenang. Dan, katanya, pasti member inspirasi bagi para penyair. Karenanya, ia namai Garden of The Poets. Tempat ini dilukisnya berkali-kali. Dan menjadi satu dari tujuh “taman dan ladang” favoritnya. Enam yang lain adalah: satu taman gereja ayahnya di negeri Belanda; sesdangkan lima sisanya adalah “taman dan ladang” yang ada kaitannya dengan “sakit jiwa”-nya: kebun Provencal dekat Arles, kebun Asylum Saint-Paul, tamn bunga milik Dr.Paul Gachet (dokter jiwanya) di Auvers, dan taman mawar milik artis Charles Daubigny di Auvers.

Ketika tiba-tiba memotong daun telinga kanannya sendiri, lalu memberikannya pada seorang gadis bar, Van Gogh dirawat di rumah sakit jiwa dan sempat cemas tak bisa melukis lagi. Beberapa tahun sebelumnya, Van Gogh sempat membahas melukis pemandangan, Martinus Boks, yang karyanya semakin dihargai begitu masuk rumah sakit jiwa. Tapi, ternyata ia tak perlu cemas lagi ketika beberapa bulan kemudian harus kembali dirawat di Saint-Remy. Meski dibatasi tembok, Van Gogh, yang sangat dekat, bahkan menggantungkan hidupnya pada Theo ini, selalu bisa menemukan sudut-sudut taman dan ladang yang bisa ia pindahkan ke kanvas. Bisa kebun tak terurus di area Asylum ataupun kebun jagung yang terlihat dari jendela kamarnya. “Sementara aku di sini, kebun tak terurus yang ditumbuhi cemara, penuh rumput tak beraturan, bercampur dengan tumbuhan rambat menutup tanah, sudah cukup membuat aku sibuk,” katanya penuh semangat menjalani hari-hari di Saint-Remy. Dan justru di rumah sakit jiwa inilah lukisan panorama Van Gogh berkembang secara luar biasa. Untuk menghasilkan sebuah karya, Van Gogh tekun dan disiplin melakukan beberapa studi, baik berupa sketsa maupun berbentuk lukisan cat minyak di atas kanvas.
“The garden of Saint-Paul” (The falloff the leaves) dibuat dengan memendam perasaan rindu akan kampung halamnnya. Van Gogh memang pernah menulis, saat daun berguguran di selatan (Saint –Remy) selalu mengingatkannya pada suasana di utara (Negeri Belanda). “The Garden Of Saint Paul’s Hospital” yang melukiskan suasana sore di kebun Saint-Remy kelihatan lebih akrab dengan hadirnya bangku taman dan beberapa figure yang berjalan-jalan menikmati udara sore. Dari jendela kamarnya Van Gogh melukis ladang jagung yang tengah dipanen. Lengkap dengan petani yang terlihat sibuk mengangkat parang dibawah terik matahari. Jagung digambarkan dengan sapuan-sapuan yang memanjang atau spiral.

Di Auvers pemandangannya bagus dan secara kejiwaan Van Gogh bisa diawasi oleh Dr. Paul Gachet, dokter yang juga akrab dengan beberapa seniman, bahkan mengoleksi karya mereka. Di sini ia menemukan kedamaian yang ia butuhkan untuk teru menerus melukis “taman dan ladang”. Di kota kecil yang juga disenangi banyak artis lain ini Van Gogh sangat produktif dan kreativ (dua kebun favoritnya ada di sini). Banyak yang berkata, lukisan kebun dan tamannya sseperti hidup dan mampu membawa kita ikut berada disitu, turut merasakan panas atau dinginnya cuaca, juga aroma bunga serta daun dan tanah yang berputar- putar di udara. Tak usah kita, Van Gogh saja mengakui, lukisan pohon zaitunnya serasa menghadirkan suasana pedesaan dan aroma tanah yang melayang-layang.

Sayangnya, di kota yang pernah ditinggali Camille Pissarro, Paul Cezanne, dan Charles Francois Daubigny ini Van Gogh tak bisa lagi melukis setelah sebelumnya dihamtui kecemasan yang menekan dan mendorongnya mengakhiri hidup. “Wheatfield with Crows” dilukis pada minggu-minggu tak menyenangkan itu. Diatas kanvas hanya ada ladang gandum yang menderu, langit berombak, dan gagak terbang beriringan. Ada yang menganggap karya terakhir ini jadi penanda niatnya untuk bunuh diri. Namun, teori itu tidak terlalu kuat karena tema lukisan seperti ini dianggap tradisional dan banyak dipilih seniman bermazhab Barbizon. Pada 27 Juli 1890, Van Gogh menembak dadanya sendiri di kebun gandum, di belakang sebuah chateau di kota itu, padahal empat hari sebelumnya ia masih meminta Theo mengiriminya cat.

Dua hari kemudian Van Gogh menghembuskan nafas terakhir dengan Theo di sisinya. Saat pemakaman, Theo dan beberapa teman dekat berdiri mengelilingi peti yang penuh dihiasi bunga kuning, warna favoritnya, symbol cahaya yang selalu ia impikan. Van Gogh di makamkan di halaman gereja kecil, di lereng bukit berangin, ditengah-tengah ladang gandum, menghadap kota Auvers. Sulit membayangkan tempat lain yang pantas untuk peristirahatan terakhir artis yang begitu menyatu dengan alam ini.
Sekarang pun suasananya masih seperti itu. Bedanya, Van Gogh “berdampingan” dengan Theo yang menyusulnya enam bulan kemudian. Gagak dan burung-burung kecil beterbangan. Bunga popi dan bunga-bunga liar masih tumbuh dikiri-kanan jalan setapak dari arah desa menuju bukit. Peziarah dari seluruh dunia biasanya menyusuri jalan ini sambil membawa batang-batang gandum, seikat bunga liar, atau beberapa tangkai bunga matahari untuk diletakkan di atas nisan yang berselimut tanaman rambat. Ini seperti tanaman indah yang ia idam-idamkan tapi tidak pernah ia miliki selama hidupnya.
Sumber: Visual Arts #10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar